
Indonesia gagal masuk Piala Dunia 2026
KabarKabari,- Perjuangan panjang Timnas Indonesia untuk meraih tiket ke Piala Dunia 2026 akhirnya berakhir dengan kekecewaan. Di bawah sorotan tajam publik, skuad Garuda gagal menembus babak terakhir kualifikasi setelah dua kekalahan beruntun di fase pamungkas. Bukan karena kecurangan, bukan pula karena keberpihakan wasit — tetapi karena kesalahan dan inkonsistensi dari tubuh tim sendiri.
King Abdullah Sports City Stadium di Jeddah menjadi saksi bisu berakhirnya mimpi besar Indonesia. Dalam dua laga terakhir Grup B, Indonesia tumbang 2-3 dari Arab Saudi dan menyerah 0-1 dari Irak. Hasil tersebut menempatkan Garuda di posisi juru kunci klasemen, sekaligus mengubur harapan jutaan pendukung Tanah Air untuk menyaksikan merah putih berkibar di Piala Dunia 2026.
Perjalanan Panjang dan Riak Perjuangan di Kualifikasi
Petualangan Timnas Indonesia menuju Piala Dunia 2026 sejatinya dimulai dengan semangat besar pada Oktober 2023. Karena peringkat FIFA yang rendah, Indonesia harus memulai langkah dari babak pertama kualifikasi. Namun, di bawah komando pelatih Shin Tae-yong, Garuda tampil trengginas.
Brunei Darussalam menjadi korban pertama. Dalam dua leg, Indonesia menang telak dengan skor identik 6-0 dan melenggang mulus ke babak kedua. Performa ini menumbuhkan optimisme bahwa sepak bola Indonesia benar-benar tengah bangkit.
Di babak kedua, Indonesia tergabung bersama Irak, Vietnam, dan Filipina. Meski semula tak dijagokan, skuad Garuda mampu membalikkan prediksi. Mereka menorehkan hasil impresif — dua kemenangan atas Vietnam, satu kemenangan dan satu hasil imbang melawan Filipina, serta hanya kalah dari Irak. Capaian itu bukan hanya memastikan langkah ke babak ketiga, tapi juga meloloskan Indonesia ke Piala Asia 2027.
Perubahan Pelatih dan Awal Mula Masalah
Memasuki babak ketiga, Indonesia menghadapi tantangan lebih berat. Garuda tergabung di Grup C bersama Jepang, Australia, Arab Saudi, Bahrain, dan China. Enam laga pertama berjalan penuh dinamika: satu kemenangan bersejarah atas Arab Saudi, tiga kali imbang, dan dua kekalahan. Namun, kekalahan dari China menjadi titik balik yang memunculkan riak di internal tim.
Rumor disharmoni antara pelatih Shin Tae-yong dan sebagian pemain mencuat ke publik. Di tengah tekanan tinggi, PSSI mengambil keputusan mengejutkan: mengakhiri kontrak Shin dan menunjuk legenda Belanda Patrick Kluivert sebagai pelatih baru.
Langkah ini awalnya disambut antusias. Bahkan anggota Exco PSSI, Arya Sinulingga, menyebut Kluivert sebagai “pelatih terbaik yang pernah dimiliki Indonesia” — bahkan sebelum pria Belanda itu bekerja satu hari pun. Namun kenyataan di lapangan berkata lain.
Era Kluivert dan Dua Kekalahan yang Menghancurkan
Di bawah kendali Kluivert, performa Indonesia justru menurun drastis. Dalam enam pertandingan kualifikasi terakhir, Indonesia hanya mencatat dua kemenangan dan empat kekalahan, dengan produktivitas lima gol serta kebobolan 15 kali. Terburuknya, dua kekalahan krusial datang di laga-laga terakhir yang menentukan nasib Garuda.
Pertama, saat menghadapi Arab Saudi, Kluivert dinilai gagal menurunkan komposisi terbaik. Eksperimen di susunan pemain utama membuat strategi tim berantakan. Meski wasit asal Kuwait, Ahmed Al-Ali, memimpin dengan baik tanpa kontroversi, Indonesia tetap kalah 2-3.
Kemudian melawan Irak, permainan Indonesia sejatinya membaik. Namun, lini depan tumpul dan gagal memanfaatkan peluang emas. Wasit asal China, Ma Ning, juga menjalankan tugas tanpa insiden besar. Akhirnya, Indonesia kalah tipis 0-1 dan harus menutup perjalanan panjangnya dengan rasa frustrasi.
Yang lebih menyakitkan, Patrick Kluivert tak muncul di depan publik selepas laga. Tak ada ucapan maaf, tak ada penghormatan bagi suporter yang jauh-jauh datang. Sebuah sikap yang memicu kemarahan dan tagar #KluivertOut menggema di media sosial.
Narasi Kecurangan yang Jadi Bumerang
Sebelum babak keempat dimulai, PSSI sempat menggaungkan isu potensi kecurangan. Federasi menyoroti keputusan AFC yang menunjuk Arab Saudi dan Qatar sebagai tuan rumah grup, serta mengeluhkan penunjukan wasit dari kawasan Timur Tengah. Bahkan, PSSI melayangkan protes resmi dan meminta pengadil dari region lain.
Namun, alih-alih fokus mempersiapkan strategi dan kondisi fisik tim, narasi itu justru menjadi bumerang. Ketika semua kekhawatiran terbukti tidak relevan — dengan wasit memimpin secara objektif — Indonesia justru gagal tampil maksimal.
Narasi negatif itu membuat skuad Garuda seperti sudah kalah sebelum bertanding. Energi tim terkuras untuk hal-hal di luar lapangan, bukan pada peningkatan kualitas permainan. Seperti peribahasa, “pernah punya bahan bagus, tapi kokinya tak tahu cara memasak.”
Tanggung Jawab PSSI dan Masa Depan Garuda
Kini, publik menuntut pertanggungjawaban. Keputusan mengganti Shin Tae-yong dengan Kluivert dinilai sebagai langkah spekulatif yang gagal total. Evaluasi menyeluruh menjadi harga mati. PSSI harus berani mengakui kesalahan dan memperbaiki tata kelola tim nasional dari hulu ke hilir.
Bagi Kluivert, tanggung jawab moral juga melekat. Pernyataannya bahwa ia siap “bertanggung jawab penuh” kini diuji. Jika ia benar profesional, maka setidaknya perlu hadir memberi penjelasan langsung kepada suporter yang kecewa, bukan diam dan menghilang di balik kekalahan.
Menatap Piala AFF 2026: Harapan yang Masih Menyala
Meski gagal lolos ke Piala Dunia 2026, perjalanan Timnas Indonesia belum berakhir. Agenda terdekat yang realistis adalah Piala AFF 2026, yang dijadwalkan bergulir pada Juli–Agustus tahun depan. Ajang ini bisa menjadi momentum kebangkitan.
Indonesia memang belum pernah menjadi juara Piala AFF, meski sudah enam kali mencapai final. Karena itu, menjadi kampiun di kawasan ASEAN bukanlah cita-cita kecil. Justru inilah target yang paling masuk akal untuk memulihkan moral tim dan mengembalikan kepercayaan publik.
Jika desakan #KluivertOut akhirnya diakomodir, maka PSSI wajib lebih selektif dalam memilih pelatih baru. Jangan sampai kesalahan lama terulang: merekrut pelatih hanya karena “mau datang wawancara di hari Natal”. Indonesia butuh juru taktik berpengalaman, berkarakter kuat, dan memahami kultur sepak bola Asia Tenggara.
Penutup: Evaluasi Nyata, Bukan Sekadar Janji
Kegagalan Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2026 bukan sekadar hasil pertandingan — ini adalah cermin dari tata kelola, strategi, dan mentalitas. Narasi kecurangan tidak lagi relevan. Yang dibutuhkan adalah introspeksi dan langkah konkret menuju perbaikan.
Kini, semua mata tertuju pada PSSI. Apakah federasi siap mendengar kritik, atau akan kembali “tuli” terhadap suara suporter? Hanya dengan evaluasi menyeluruh dan perubahan nyata, sepak bola Indonesia bisa benar-benar melangkah maju.
Karena pada akhirnya, Garuda tidak akan pernah berhenti bermimpi — hanya saja, kali ini, mimpi itu harus disertai kerja nyata dan keputusan yang tepat.